TABE SALAMAT LINGU NALATAI SALAM SUJUD KARENDEM MALEMPANG

DINAMIKA UPACARA LUNUK HAKAJA PATING

DINAMIKA UPACARA LUNUK HAKAJA PATING
Masyarakat yang menempati kawasan Kalimantan Tengah adalah suku Dayak, ada banyak sub bagian suku dayak yang menempati wilayah Kalimantan Tengah yaitu Dayak Ngaju, Ma’anyan, Lawangan, Dusun, Kelementen, Ot. Danum, Siang, Witu, Katingan, dan Kapuas (Riwut,2003:20). Pembagian sub dayak tersebut memiliki ciri khas masing-masing baik dari tatanan bahasa, kebudayaan, perbedaan tersebut sangat tampak pada ritual-ritual yang dilaksanan. Namun ada berbagai kesamaan prinsip dalam esensi pelaksanaan ritual di wiayah sub bagian dayak.
Kaharingan adalah keyakinan atau kepercayaan asli suku Dayak atau sering disebut dengan agama “Helu”. Kaharingan berasal dari kata “Haring” yang artinya hidup. Kepercayaan  Kaharingan yang berkembang di Kalimantan sangat kaya dengan adat istiadat, upacara pemujaan yang diwarisi oleh leluhur dari masa lampau. Pada tahun 1980 Kaharingan berintegrasi dengan Hindu sehingga dewasa ini dikenal dengan sebutan Hindu Kaharingan, karena dalam ajaran Kaharingan juga mengenal kerangka dasar agama yang terdiri dari tattwa, etika dan upacara. Praktek dalam kepercayaan Kaharingan yang dilaksanakan oleh suku dayak di kota Palangka Raya adalah blebih dominan pada upacara atau ritual keagamaan. Titib (2005) dalam makalah yang berjudul Konsep Multikultural Dalam Veda dan Susastra Hindu Serta Kehidupan Keberagamaan Umat Hindu Di Indonesia, menyatakan bahwa semua agama dan kepercayaan pada prinsipnya memiliki sistem ritual sebagai suatu representasi sikap dan emosi religius. Representasi yang demikian merupakan suatu kewajaran untuk memahami salah satu konsep korban suci dengan ketulusan dan keikhlasan hati (yadnya) yang berdimensi vertikal maupun horizontal.
Setiap ajaran agama memiliki ritual atau kebiasaan beragama yang merupakan keharusan untuk mewujudkan rasa Bhakti kepada Sang Pencipta, Kaharingan sebutan dalam bahasa Sangiang yang artinya “kehidupan”, ajaran Kaharingan atau ajaran tentang kehidupan dalam kaitanya dengan kehidupan keagamaan, masyarakat Kaharingan di Kalimantan Tengah memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan upacara penghormatan dan pemujaan terhadap roh leluhurideologi yang mendasari karakter kehidupan keagamaan tersebut adalah kepercayaan bahwa tanah adalah milik Leluhur. Riwut (1979 : 392) manusia yang pertama menjadi nenek moyang (leluhur) suku Dayak yang diturunkan dengan “Palangka Bulau” yang tercipta dari sinar matahari dan cahaya bulan, sejak saat itulah menurut agama Dayak maka dinamai dengan agama Kaharingan atau agama “Helu” bahwa suku Dayak ada dan di turunkan dari langit. Sebagai bukti bahwa sudah menjadi kebiasaan bagi suku Dayak terutama yang memeluk agama Kaharingan bila melakukan sesuatu atau upacara, terlebih dahulu “naharep pambelum” menghadap matahari terbit guna memanggil para Dewa dan Tuhan. Dalam praktek beragama umat Kaharingan di kota Palangka Raya memiliki beragam jenis ritual keagamaan, diantaranya adalah upacara Lunuk Hakaja Pating.


Dalam Panaturan telah jelas mengatakan bahwa keturunan Raja Bunu yang hidup di Pantai danum Kalunen yang masih memeluk ajaran agama Kaharingan agar melaksanakan firman Ranying Hatalla Langit yaitu ketika melaksanakan Gawin Lunuk Hakaja Pating agar melakukan Pelek Rujin Pangawin. Menurut Tetek Tatum orang dayak berasal dari langit ke tujuh diturunkan ke bumi dengan menggunakan Palangka Bulau oleh Ranying Hatala. Riwut (2003:59). Hal tersebut membuktikan dengan jelas bahwa semua orang dayak adalah keturununan Raja Bunu, dan ketika melaksanakan upacara perkawinan wajib melaksanakan upacara Lunuk Hakaja Pating yang telah diajarkan dan secara teks dapat dilihat proses upacara tersebut dalam Panaturan.
Pencapaian harapan dari tujuan upacara Lunuk Hakaja Pating akan menjadi sangat sulit untuk dicapai ketika kentetuan dalam pelaksanaan upacara belum mendapat kejelasan, adanya pemahaman yang berbeda yang dapat mengurangi esensi awal dari pelaksaan upacara sakral keagamaan. Di negara Indonesia sebuah perkawinan dinyatakan sah apabila telah melalui dua tahapan vertifikasi, artinya sah di mata Hukum yang sesuai dengan Undang-Undang perkawinan dan sah di mata agama yang dianut berdasarkan ajaran-ajaran sakral. Fenomena yang terjadi dewasa ini menunjukan kesenjangan antara teks dan pelaksanaan dilapangan, banyak orang dayak yang tidak lagi menganut agama Hindu Kaharingan tetap melaksanakan upacara Lunuk Hajaka Pating, yang berasumsi bahwa ritual tersebut merupakan kebiasaan atau budaya dayak, dan bukan merupakan ritual yang bersifat religius yang berdasarkan kepada dasar-dasar aliran Kaharingan.
Keadaan seperti tersebut menyebabkan perluasan pemaknaan baik dalam masyarakat dayak sendiri dan pada masarakat luar dayak. Pemaknaan-pemaknaan baru yang muncul dari paham budaya luar, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda dengan makna awal dari upacara Lunuk Hakaja Pating pada masyarakat dayak yang ada di kota Palangka Raya. Menurut Barthes (Hoed,2011:18) apabila makna konotasi dari suatu tanda atau simbol dipertahankan akan menjadi mitos dan jika mitos telah mantap dalam masyarakat, maka mitos akan menjadi ideologi dalam masyarakat.
 II.         PEMBAHASAN

Dalam Kamus Sansekerta Indonesia (Tim Penterjemah,2000:112) disebutkan bahwa upacara memiliki arti “mendekati”, secara maknawi inti upacara agama merupakan aktivitas manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada sesama dalam bentuk saling mengabdi sesuai dengan swadharma masing-masing, dekat kepada akan lingkungan dalam wujud menjaga kelestarian alam dan yang paling utama adalah membangun rasa lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara Surada dalam Kamus Sanskerta Indonesia (2007:67) Upacara diartikan pelayanan; kehormatan; ramah; syair pemujuan; hadir; permohonan; permintaan. Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Purwita (dalam Asli, 2008:10) upa berarti sekeliling atau menunjukan segala dan cara beraktivitas, upacara adalah gerakan di sekeliling kehidupan manusia dalam upaya menghubungkan diri dengan Tuhan.
Konsep upacara menurut Mircea Eliade (dalam Dhavamony, 1995:167) yang menyatakan bahwa tindakan agama terutama ditampakan dalam Upacara (ritual) atau dapat dikatakan, ritual merupakan agama dalam tindakan. Tindakan agama ini merupakan tindakan simbolis sebagai perwujudan dan makna religius. Simbol-simbol ini digunakan untuk memberikan kemungkinan suatu perpanjangan dan penampakan yang Ilahi. Selain itu Mircea Eliade menyatakan pula, bahwa upacara (ritual) mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikannya kepada situasi keberadaan yang baru, misalnya:
penempatan ke dalam lingkup yang kudus.
Kiranya pendapat Mircea Eliade tentang konsep upacara sangat relevan, sesuai apa yang dinyatakan oleh Underhill (dalam Sudharta,1988:278), dimana upacara-upacara dalam bentuk kontek agama adalah sebuah yajña. Yajña itu sendiri mengandung filsafat “menurunkan” kekuatan Adikodrati kedunia ini. Selain itu pelaksanaan yajña juga merupakan perjalanan rohani manusia untuk “naik” menuju kesatuan dengan Tuhan.
Dalam Undang-undang tentang perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 1 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membangun rumah tangga. Perkawinan merupakan pintu gerbang utama untuk memasuki kehidupan rumah tangga.
Upacara Lunuk Hakaja Pating merupakan upacara perkawinan pada masyarakat dayak yang menganut Kaharingan, sejak jaman dahulu upacara tersebut telah dilakukan dengan cara turun-temurun sampai dengan masa sekarang. Sebagaimana dalam firman Ranying Hatalla Langit (sebutan nama Tuhan dalam Kaharingan) mengatakan :
Huang malalus gawin pangawin uluh Kaharingan, hete atun ampin Talatahe bara katamparae ije atun awi Ranying Hatalla Langit, huang katika Raja Garing Hatungku ingawin umba Nyai Endas Bulau Lisan Tingang intu lewu Bukit Batu Nindan Tarung huang Pantai danum Sangiang.
………… malalus peteh Ranying Hatalla Langit uka manampa Pelek Rujin Pangawin, jetuh ije suntu akan panakan Raja Bunu huang Pantai Danum Kalunen Palus Katahie.
Artinya :
Didalam melaksanakan upacara perkawinan kita pemeluk yang beragama Kaharingan mempunyai tata cara tersendiri yang diajarkan sejak dahulu kala dari perkawinan Raja Garing Hatungku dengan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang di lewu Bukit batu Nindan Tarung, Pantai Danum Sangiang.
………… melaksanakan firman Ranying Hatalla Langit, agar melakukan Pelek Rujim Pangawin dan inilah yang akan menjadi contoh/ajaran bagi manusia keturunan Raja Bunu di Pantai Danum Kalunen untuk selama-lamanya (Panaturan: Pasal 54;1-2)
Berdasarkan sumber rujukan pustaka suci tersebut, telah jelas diterangkan bahwa upacara perkawinan suku dayak Ngaju merupakan salah satu bagian upacara ritual keagamaan yang dilaksanalan oleh umat Hindu Kaharingan. Akan, tetapi fenomena yang terjadi banyak masayrakat dayak yang tidak lagi menganut Kaharingan teteap melaksanakan Upacara tersebut.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membangun rumah tangga dengan tujuan untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan Yang Maha Esa. Dalam masyarakat dayak pelaksanaan upacara Lunuk Hakaja Pating bertujuan untuk “Mamangun Batang Panjang Kanyamei Lumbah”, yang berarti membangun sebuah keluarga yang bahagia dengan menyatukan dua insan manusia antara pria dan wanita menjadi pasangan suami istri. Hal yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara Lunuk Hakaja Pating adalah makna upacara bagi masyarakat dayak yang ada di kota Palangka Raya.
Globalisasi dewasa ini telah menghadirkan berbagai intensitas dalam pergulatan antara nilai-nilai lokal, nasional dan global. Pengaruh tersebut tak terasa masuk pada dimensi dan asfek kehidupan adat dan agama yang dianggap sakral,masyarakat dan kebudayaan juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Kemudian muncullah berbagai keinginan dan hasrat masyarakat untuk menegaskan kembali keunikan adat dan budaya dari ajaran lokal.Sebab adat dan budaya yang berakar dari sumber konsep ajaran Kaharingan dewasa ini telah mengalami sebuah proses paradoks perubahan. Tersentuhnya budaya global dewasa ini tidak dapat dihindari atau dielakan lagi, sehingga memunculkan fenomena baru terhadap adat dan kebudayaan lokal.
Dengan masuknya budaya-budaya luar yang mengakibatkan banyak pemahaman yang berbeda dalam pelaksanaan upacara Lunuk Hakaja Pating. Menurut (Piliang,2010:236) globalisasi bukan sekedar homogenesasi budaya, akan tetapi proses pertukaran, saling pengaruh, hibriditas, dan silang budaya yang jauh lebih kompleks dan akan berdampak pada semakin hilangnya karakter keunikan budaya setempat. Upacara Lunuk Hakaja Pating memiliki tahapan-tahapan tertentu dalam pelaksanaannya, setiap tahapan mempunyai faktor-faktor yang mendasari. Menurut Parson bahwa setiap tindakan memiliki fungsi tertentu (Ritzer dan Godman, 2010:121). Keseimbangan dalam esensi upacara Lunuk Hakaja Pating akan sangat bergantung pada tahapan pelaksanaan upacara tersebut. Apabila salah satu tahapan dihilangkan maka, terjadi kesejangan pada harapan pelaksaan upacara Lunuk Hakaja Pating.
Pemahaman yang berbeda dalam upacara Lunuk Hakaja Pating pada masyrakat dayak yang tidak lagi menganut agama Hindu Kaharingan mengakibatkan dampak yang sangat signifikan dalam makna upacara tersebut, dengan mengurangi beberapa bagian dari sistem upacara tersebut yang akan berdampak pada struktur uapcara tersebut yang lainya dan secara perlahan akan merusak kemurniannya. Menurut Parsons dalam sistem memiliki keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantungan. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian yang lainya (Upe 2010:121).
Kaharingan merupakan roh dari dayak, semua kebiasaan yang tertuang dalam budaya orang dayak bersumber ke Panaturan yang merupakan pustaka suci umat Hindu Kaharingan. Apabila Kaharingan hancur maka Dayak akan Hancur.


  
    III.          KESIMPULAN
Berdasarkan paparan tersebut dapat di simpulkan sebagai berikut :
·         Upacara Lunuk Hakaja Pating (perkawinan) pada suku dayak merupakan upacara perkawinan umat Hindu kaharingan.
·         Post-Kolonialisme bersamaan dengan masuknya budaya barat yang terjadi pada masyarakat dayak dengan mengalkulturasi budaya-budaya dayak, yang berakibat pada lunturnya kemurnian budaya dayak.
·         Kurangnya kesadaran masyarakat dayak akan hadirnya pengaruh dari budaya luar termasuk jenis kepercayaan yang membuat dinding pembatas untuk melaksanakan ritual-ritual keagamaan.
·         Kaharingan adalah “roh” dan dayak “merupakan badan kasarnya”, apabila roh tersebut mulai hancur maka badan kasar akan membusuk dan hancur pula.
     IV.            SARAN
Diharapkan adanya pengkajian lebih lanjut terhadap upacara perkawinan pada masyarakat suku dayak, dengan harapan dapat memberikan pemaknaan yang tepat dan jelas. Tanpa dipengaruhi dan di nodai oleh budaya luar yang masuk.
Belum Penyang Hinje Simpei “nilai kebersmaan dalam kehidupan masyarakat dayak” harus tetap di pertahankan, lihatlah diri sendiri dan tanyakan “apa yang telah saya lakukan untuk DAYAK?”
Sumber Bacaan :

Riwut. Tjilik, 1979. Kalimantan Membangun. Jayakarta Agung Offset. Jakarta
Riwut.Nila, 2003.ManeserPanatauTatuHiang.Pustaka Lima. Palangka Raya
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (2008). Teori Sosiologi, Dari Teori sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Piliang.Yasraf Amir.2010. Dunia Yang Dilipat.Matahari. Bandung
Sudharta,Tjok Rai. 1988. Filsafat Ketuhanan Dan Yajna Dalam Pustaka Suci. Dalam Puspanjali.Jiwa Atmaja editor. Denpasar:CV.Kayumas.
Dhavamony, M. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penterjemah.2000. Kamus Sansekerta Indonesia. Paramitha. Surabaya
Asli, Luh. 2008. Upacara Agnihotra Pada Yayasan Bali Homayajna (Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna). Tesis. Denpasar: Program Pascasarjana IHDN Denpasar

Titib. I Made. 2005. Konsep Multikultural Dalam Veda Dan Susastra Hindu Serta Kehidupan Keberagamaan Umat Hindu Di Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Agama Hindu Berwawasan Multikultural. Program Pascasarja IHDN Denpasar
Blog, Updated at: March 28, 2017

1 komentar:

EMOSI DAN MOTIVASI BELAJAR

Perbuatan atau perilaku kita sehari-hari pada umumnya disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, seperti perasaan senang. Perasaan s...

Total Pageviews

Popular Posts

Kumpulan Artikel

Followers

Search This Blog

Blog Archive

Powered by Blogger.

Terjemah Laman Ini